Strategi Public Relations dalam Menghadapi Krisis Reputasi di Era Media Sosial

ikom.fisipol.unesa.ac.id. - Di era digital, media sosial telah menjadi pedang bermata dua bagi organisasi dan perusahaan. Di satu sisi, platform ini memungkinkan komunikasi yang cepat dan luas dengan audiens. Namun, di sisi lain, krisis reputasi dapat berkembang pesat hanya dalam hitungan jam atau bahkan menit. Oleh karena itu, strategi Public Relations (PR) yang efektif dalam mengelola krisis sangatlah penting.
Memahami Dinamika Krisis Reputasi di Media Sosial
Krisis reputasi dalam konteks media sosial sering kali terjadi secara mendadak, didorong oleh opini publik yang menyebar dengan cepat. Menurut Timothy Coombs dalam teorinya Situational Crisis Communication Theory (SCCT), setiap krisis memiliki tingkat ancaman yang berbeda terhadap reputasi organisasi. Oleh karena itu, penting untuk menilai jenis krisis sebelum menentukan respons yang tepat.
Prof. Rhenald Kasali, seorang pakar komunikasi dan bisnis, menekankan bahwa, “Krisis di media sosial bukan hanya soal kecepatan respons, tetapi juga soal strategi komunikasi yang tepat. Jika salah langkah, bukan hanya reputasi yang rusak, tetapi juga kepercayaan publik.”
Strategi Komunikasi Krisis yang Efektif
Strategi komunikasi krisis yang baik harus mencakup tiga tahapan utama: sebelum, saat, dan setelah krisis.
a. Pra-Krisis: Pencegahan dan Persiapan
Sebelum krisis terjadi, organisasi harus memiliki protokol komunikasi yang jelas. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Monitoring Media Sosial: Menggunakan alat analitik seperti Google Alerts, Brandwatch, atau Hootsuite untuk memantau sentimen publik.
Membentuk Tim Krisis: Tim khusus yang bertanggung jawab menangani komunikasi darurat saat terjadi krisis.
Pelatihan Krisis: Memberikan pelatihan kepada tim PR dan manajemen dalam menangani potensi isu sensitif.
b. Saat Krisis: Respons Cepat dan Terukur
Ketika krisis terjadi, kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pernyataan sangat penting. Berdasarkan penelitian dari Institute for Public Relations (IPR), organisasi yang merespons dalam waktu kurang dari 24 jam cenderung lebih mampu mengendalikan situasi dibandingkan yang terlambat merespons.
Menurut Widodo Muktiyo, mantan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, “Jangan menunggu krisis reda sendiri, tetapi hadapi dengan komunikasi yang jujur dan terbuka. Kesalahan terbesar adalah membiarkan informasi liar berkembang tanpa ada klarifikasi resmi.”
Langkah-langkah yang dapat diambil saat krisis:
Mengakui dan Klarifikasi: Jika ada kesalahan, akui dengan jujur dan berikan klarifikasi yang jelas.
Gunakan Juru Bicara yang Kredibel: Komunikasi harus disampaikan oleh orang yang kompeten dan memiliki otoritas.
Gunakan Media yang Tepat: Gunakan platform yang sesuai, seperti konferensi pers, unggahan resmi di media sosial, atau siaran pers.
c. Pasca-Krisis: Evaluasi dan Pemulihan
Setelah krisis mereda, langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi terhadap penanganan yang telah dilakukan. Evaluasi ini dapat mencakup:
Analisis Respons Publik: Menggunakan data dari interaksi media sosial dan pemberitaan media.
Perbaikan Kebijakan: Jika krisis disebabkan oleh kebijakan internal, perlu dilakukan perbaikan agar tidak terulang.
Membangun Kembali Kepercayaan: Bisa dilakukan melalui CSR (Corporate Social Responsibility) atau kampanye positif di media.
Studi Kasus: Krisis Reputasi dan Cara Menanganinya
Salah satu contoh penanganan krisis reputasi yang baik adalah bagaimana Gojek menangani isu internalnya di media sosial. Pada tahun 2019, muncul kontroversi terkait pernyataan salah satu eksekutifnya yang menimbulkan protes publik. Gojek merespons dengan cepat melalui pernyataan resmi, mengklarifikasi bahwa opini tersebut bukan mewakili kebijakan perusahaan, serta menegaskan komitmen mereka terhadap nilai-nilai keberagaman.
Sementara itu, contoh buruk adalah kasus United Airlines pada 2017 ketika seorang penumpang dipaksa keluar dari pesawat secara kasar. Perusahaan awalnya membela tindakannya, tetapi setelah reaksi negatif dari publik, mereka akhirnya meminta maaf. Namun, keterlambatan dalam menangani krisis menyebabkan kerugian besar pada citra dan saham perusahaan.
Kesimpulan
Strategi PR yang efektif dalam menghadapi krisis reputasi di media sosial bergantung pada kecepatan, transparansi, dan konsistensi komunikasi. Organisasi harus mampu mengenali jenis krisis, menentukan respons yang sesuai, serta terus melakukan evaluasi untuk meningkatkan kesiapan di masa depan.
Seperti yang dikatakan oleh Dr. Adriana Soegoto, pakar komunikasi digital, “Era digital menuntut perusahaan untuk lebih adaptif. Krisis akan selalu ada, tetapi bagaimana kita menanganinya yang menentukan keberlanjutan bisnis dan kepercayaan publik.”
Dengan memahami dan menerapkan strategi komunikasi krisis yang tepat, organisasi dapat lebih siap menghadapi tantangan di era media sosial yang dinamis.
Referensi:
- Benoit, W. L. (1995). Accounts, Excuses, and Apologies: A Theory of Image Restoration Strategies. SUNY Press.
Coombs, W. T. (2007). Ongoing Crisis Communication: Planning, Managing, and Responding. SAGE Publications.
Institute for Public Relations (2021). Crisis Communication Research. Retrieved from https://instituteforpr.org/crisis-communication/
Widodo Muktiyo, dalam wawancara di Kompas.com, 2021. "Menangani Krisis Komunikasi di Era Digital." Retrieved from https://www.kompas.com/
Adriana Soegoto, dalam seminar komunikasi digital, 2023. "Strategi PR di Era Media Sosial."
Kasali, R. (2018). Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber. Gramedia Pustaka Utama.
Penulis: Zakariya Putra Soekarno, 2025
Cover: Hamima Okamtiyan, 2025
***
Laboratorium Ilmu Komunikasi UNESA