Jidor Sentulan Sebagai Kesenian dan Media Dakwah

Ikom.fisipol.unesa.ac.id - Jidor Sentulan menjadi salah satu kesenian di Jombang yang terjaga kelestariannya. Berasal dari Desa Bongkot, Dusun Sentulan. Sampai saat ini, jidor Sentulan masih banyak digemari oleh kalangan muda, anak-anak hingga kalangan yang lebih tua. Jidor diturunkan secara turun-temurun oleh leluhur yang kemudian terus dilestarikan hingga sekarang.
Saat ini, jidor biasa dihadirkan dalam acara khitan, pernikahan, ulang tahun serta acara-acara lainnya. Kesenian ini memadukan antara musik dan tarian yang diiringi dengan sandiwara yang mengandung nilai-nilai spiritual penuh arti, dari kebersamaan hingga harmonisasi. Sepanjang pertunjukan, juga diiringi dengan nada sholawat yang dilengkapi dengan musik.
Alat musik yang digunakan adalah alat musik jidor yang khas, rebana dan kendang batang. Jidor Sentulan ialah kesenian drama rakyat yang menceritakan kehidupan manusia. Setiap penampilan dramanya, selalu diselipkan pesan moral untuk penontonnya. Selain itu drama ini kental dengan upacara adat dan keagamaan yang tercampur dengan tradisi asli masyarakat Jombang.
Desa Bongkot sendiri merupakan desa yang masih agraris, sehingga terdapat tradisi ruwatan untuk keselamatan dan memperbanyak rezeki sesuai kepercayaannya. Di sinilah Jidor Sentulan juga ditampilkan.
Sejarah jidor sentulan bermula dari perang Jawa tahun 1825 hingga 1830 yang melibatkan banyak bangsawan, termasuk masyarakat Kesultanan Yogyakarta. Perang ini terjadi karena semakin lemahnya kekuasaan Raja pada saat itu, Belanda yang ikut campur dalam pemerintahan membuat Raja dikendalikan oleh mereka.
Pada Perang Jawa, Pasukan Diponegoro mulai runtuh dan
menyebar hampir ke setiap daerah. Pasukan Diponegoro yang menyebar tetap membawa nilai-nilai keislaman
yang kemudian disebarkan secara halus, salah satunya melalui kesenian yang
dinamakan Jidor Sentulan yang kemudian
digandrungi Masyarakat.
Dari hasil wawancara dengan ketua dari kesenian Jidor Sentulan yaitu Satim, “Jidor sentulan kui seng gawe yo pengikute pangeran, Pangeran Diponegoro, jenenge Mbah Suhadak seng bien manggon ning kene Dusun Sentulan” artinya pengikut Pangeran Diponegoro bernama Mbah Suhadak yang menjadi pencetusnya. Diyakini Jidor Sentulan muncul setelah perang tersebut, sekitar tahun 1830-1840.
Kesenian Jidor Sentulan menjadi media dakwah yang digemari
oleh banyak kalangan di masa itu. Pada penampilannya, terdapat sebuah keunikan
berupa upacara ritual yang memiliki unsur islam dan dinamisme, termasuk proses
pembakaran kemenyan yang kental dengan dinamisme. Ini menunjukkan bagaimana
upaya pencetus Jidor Sentulan yang ingin mengembangkan Islam di masa
peralihan antara dinamisme dan
keislaman.

Dalam
pementasannya di masa kini, Jidor Sentulan terdiri atas beberapa tahapan. Yang pertama,
dibuka dengan pementasan pembacaan sholawat Nabi Muhammad. Lantunan
sholawat ini yang kemudian digunakan untuk menarik orang agar tertarik dengan
islam. Yang kedua, disajikan kisah
naratif yang mengisahkan tentang dua anak muda yaitu Penthul dan Tembem yang
mencari bahan makanan untuk ingon-ingonnya yaitu Kumbang Semendung,
ke dalam hutan.
Pada tahap ketiga, dilaksanakan doa-doa untuk pemilik acara yang berisi doa keselamatan dan doa kelancaran. Di tahap keempat, digambarkan Penthul yang membujuk Tembem untuk merawat Kumbang Semendung. Saat memberi makan Kumbang Semendung Tembem tidak berhati-hati hingga tangannya digigit oleh Kumbang Semendung hingga Tembem berteriak kesakitan.
Tahap kelima, Penthul berusaha menolong Tembem dengan menusuk Kumbang Semendung menggunakan Gaman Tapak Edan. Gaman ini dikisahkan memiliki kekuatan yang sangat kuat, diperoleh oleh Penthul dengan tirakatan 41 hari tanpa memakan apapun, dan tidak tidur pula. Tahap keenam, Penthul membawa Tembem juga Kembang Semendung ke Mbah Wiraguna.
Kumbang Semendung dan Tembem sekarat hingga meninggal karena perbuatan Penthul. Penthul membawa mereka ke Mbah Wiraguna untuk mengobati, karena dipercaya memiliki kemampuan sakti dalam mengobati. Hingga tahap ketujuh terakhir, Mbah Wiraguna merapalkan doa-doa kepada Allah SWT untuk memohon kesembuhan mereka, Mbah Wiraguna bersama parang miliknya duduk berdoa dan berserah kepada Allah SWT.
Dari drama yang disampaikan Jidor Sentulan, banyak nilai keislaman dan
nilai luhur kemanusiaan yang dapat diambil. Dari wawancara dengan penonton
Jidor Sentulan yakni adegan pembuka melalui sholawat dan juga adegan dimana
Penthul berusaha menolong Tembem yang digigit Kumbang Semendung, selain itu
Penthul juga tetap berusaha untuk mengobati Kembang Semendhung yang telah
menggigit Tembem.
Di sini terkandung nilai menghargai sesama makhluk yang memiliki
kehidupan. Jidor Sentulan sendiri mengalami
perubahan fungsi, yang awalnya digunakan untuk hadiah pernikahan dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, namun mulai generasi keempat
yaitu generasi Mbah Wito hingga generasi Bapak Satim saat ini Jidor Sentulan
berubah menjadi hiburan yang biasa diadakan untuk acara besar seperti khitan,
nikahan maupun acara-acara besar lainnya.
“Bien iku nduk Jidor mung digawe wong ape rabi,
koyok dingo nikahan mbah wedok saka mbah
lanang. Tapi lek saiki Jidor ditanggap wong khitanan lek ora ngunu yo
dingo acara gede liane,” ujarnya.
Hal ini disampaikan oleh Mbah Khasanah penduduk asli Dusun Sentulan salah
satu orang tua yang menyaksikan
perkembangan Jidor Sentulan dari tahun ke tahun. Kesenian Jidor Sentulan terus
bertahan dan beregenarasi tidak lain karena tokoh-tokoh seniman Dusun Sentulan
dan masyarakat yang melestarikannya.
Diwariskan dari generasi ke generasi terus berkembang dan mengalami sedikit penambahan atau modifikasi menjadikan Jidor Sentulan tetap bertahan sampai hari ini. Penambahan aktor kera dan harimau menjadi penunjang kesenian Jidor Sentulan untuk menjadikan suasana lebih menarik.
Jidor Sentulan menjadi salah satu kesenian Jombang tertua yang masih lestari. Jidor Sentulan menggambarkan semangat kebersamaan dan kerja sama komunitas. Jidor Sentulan berpotensi menjadi alat interaksi multikultural yang bisa digunakan untuk mengenalkan budaya lokal kepada penonton global yang bisa menciptakan sebuah topik dialog budaya.
Meskipun saat ini
kita terus dipengaruhi oleh globalisasi dan perkembangan teknologi, Jidor Sentulan tetap berusaha
aktif dan dilestarikan dengan baik oleh para seniman dan masyarakat lokal.
Meski pemasaran kesenian ini terbilang tidak berinovasi tapi berkat para penontonnya pula yang mendokumentasikan dan
menyebarkan ke platform tertentu
kesenian ini mulai dijangkau oleh audiens
di daerah lain di luar kabupaten Jombang itu sendiri.
Author : Siti
Dian Afniasari (Ilmu Komunikasi 2023)
Editor : Yasmin,
2025
***
Laboratorium Ilmu
Komunikasi UNESA