Mengelola Isu dengan Tenang: Strategi Komunikasi yang Efektif di Era Digital

ikom.fisipol.unesa.ac.id. - Dalam dunia komunikasi, baik
dalam bidang Public Relations (PR), jurnalistik, maupun komunikasi bisnis dan
politik, kemampuan mengelola isu dengan tenang adalah keterampilan yang sangat
penting. Di era digital saat ini, di mana informasi menyebar dengan cepat,
kesalahan dalam menangani isu bisa berakibat fatal bagi individu maupun
organisasi.
Apakah itu krisis di media sosial, kesalahpahaman publik,
atau kontroversi yang melibatkan institusi, respons yang tepat sangat
menentukan apakah suatu isu dapat mereda atau justru semakin membesar. Oleh
karena itu, strategi komunikasi yang terencana dan sikap yang tenang sangat
diperlukan agar pesan yang disampaikan tidak menimbulkan efek negatif yang
lebih luas.
1. Memahami
Isu Secara Menyeluruh Sebelum Bertindak
Langkah pertama dalam menangani isu adalah memahami secara
menyeluruh apa yang terjadi. Jangan terburu-buru memberikan tanggapan sebelum
memiliki informasi yang cukup.
Menurut Dr. Shannon
A. Bowen, profesor di University of South Carolina, keputusan komunikasi
harus berbasis pada data dan etika agar respons yang diberikan tidak
memperburuk keadaan. Dalam jurnalnya, ia menjelaskan bahwa:
"Manajemen
isu yang baik memerlukan pemahaman menyeluruh terhadap situasi dan audiens.
Kesalahan dalam membaca konteks dapat menyebabkan kebijakan komunikasi yang
tidak efektif."
Oleh karena itu, analisis awal harus dilakukan dengan
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, termasuk media, opini publik, dan
data yang tersedia.
2.
Kendalikan Emosi dan Tetap Tenang dalam Situasi Genting
Di tengah tekanan, seorang komunikator harus mampu
mengendalikan emosi agar bisa berpikir jernih. Hal ini sejalan dengan konsep Emotional Intelligence yang dikemukakan
oleh Daniel Goleman, di mana
individu yang mampu mengelola emosinya lebih cenderung mengambil keputusan yang
lebih rasional.
Di Indonesia, Sutopo
Purwo Nugroho, mantan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, dikenal
karena kemampuannya dalam menyampaikan informasi bencana dengan tenang dan
jelas. Dalam wawancara dengan Antara News, ia pernah mengatakan:
"Sebagai
juru bicara, tugas saya adalah menenangkan publik dengan memberikan informasi
yang jelas dan berbasis data. Jika saya panik, maka masyarakat pun akan
panik."
Keteladanan ini menjadi contoh bahwa seorang komunikator
harus mampu menjaga ketenangan agar pesan yang disampaikan tidak menimbulkan
kepanikan di masyarakat.
3. Menyusun
Pernyataan yang Jelas, Transparan, dan Konsisten
Komunikasi yang transparan adalah kunci dalam membangun
kepercayaan publik. Ketika suatu isu muncul, penting untuk memberikan
pernyataan yang jelas, jujur, dan tidak berbelit-belit.
Menurut Edelman Trust
Barometer 2024, organisasi yang terbuka dalam menangani isu lebih mudah
mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat dibandingkan mereka yang berusaha
menutup-nutupi masalah.
Dalam konteks ini, Dr.
W. Timothy Coombs, pakar komunikasi krisis, menjelaskan dalam bukunya Ongoing Crisis Communication bahwa:
"Kepercayaan
publik dapat pulih lebih cepat jika organisasi memberikan pernyataan yang
konsisten dan didukung oleh tindakan nyata."
Artinya, pernyataan yang dibuat harus disertai dengan
tindakan nyata yang menunjukkan komitmen organisasi dalam menyelesaikan isu
tersebut.
4. Respons
Cepat tapi Terukur: Jangan Terburu-buru, Jangan Terlalu Lama
Kecepatan dalam menangani isu sangat penting, tetapi respons
yang terburu-buru tanpa pertimbangan matang bisa berakibat fatal.
Dr. Matthew Seeger, pakar komunikasi krisis,
menekankan bahwa dalam situasi genting, organisasi harus memiliki mekanisme
tanggap darurat yang sudah disiapkan sebelumnya. Ia menyebutkan bahwa:
"Skenario
krisis harus dirancang sebelum insiden terjadi agar organisasi dapat merespons
secara cepat dan terukur, tanpa harus terburu-buru mengambil keputusan yang
salah."
Hal ini berlaku tidak hanya untuk perusahaan besar, tetapi
juga untuk organisasi publik, lembaga pemerintah, bahkan individu yang
menghadapi krisis reputasi di media sosial.
5. Bijak
Menggunakan Media Sosial: Jangan Sampai Menambah Masalah
Media sosial bisa menjadi alat yang efektif dalam menangani
isu, tetapi juga bisa menjadi bumerang jika tidak digunakan dengan hati-hati.
Karen Freberg, dosen PR digital di University of Louisville, mengingatkan
bahwa setiap unggahan di media sosial dapat menjadi bukti permanen yang bisa
dipelintir oleh pihak lain. Oleh karena itu, sebelum mempublikasikan pernyataan
apa pun di media sosial, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka
panjangnya.
Sebagai contoh, banyak perusahaan yang justru memperparah
situasi karena memberikan pernyataan yang tidak sesuai dengan ekspektasi publik
di media sosial. Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah menggunakan media
sosial sebagai alat klarifikasi dengan bahasa yang lugas dan tidak provokatif.
6. Evaluasi
dan Pelajari dari Setiap Kasus yang Terjadi
Setelah menangani suatu isu, langkah selanjutnya adalah
melakukan evaluasi. Apa yang berhasil? Apa yang bisa diperbaiki di masa depan?
Menurut penelitian Dr.
Erik P. Bucy, profesor komunikasi di Texas Tech University, organisasi yang
melakukan evaluasi pasca-krisis akan lebih siap menghadapi tantangan di masa
depan. Evaluasi ini bisa mencakup analisis respons publik, efektivitas
komunikasi yang dilakukan, serta dampak terhadap citra organisasi atau individu
yang terlibat.
Dalam dunia akademik maupun praktik, refleksi terhadap suatu
isu dapat menjadi bahan pembelajaran yang sangat berharga bagi mahasiswa dan
profesional komunikasi.
Kesimpulan
Mengelola isu dengan tenang bukan hanya tentang menghindari
kepanikan, tetapi juga tentang strategi komunikasi yang tepat, transparansi,
dan respons yang terukur. Kemampuan ini sangat relevan bagi siapa pun yang
berkecimpung dalam bidang komunikasi, baik di dunia akademik, industri media,
pemerintahan, maupun bisnis.
Sebagai mahasiswa dan akademisi Ilmu Komunikasi, pemahaman
mengenai strategi komunikasi dalam menghadapi isu dapat menjadi bekal penting
untuk menghadapi berbagai tantangan di dunia profesional. Dengan menerapkan
prinsip-prinsip ini, kita dapat menjadi komunikator yang lebih siap dalam
menghadapi berbagai situasi kompleks di era digital ini.
Sumber
Referensi:
- Bowen, S. A. (2005). A Practical Model for Ethical Decision
Making in Issues Management and Public Relations. Journal of Public Relations Research.
- Coombs, W. T. (2019). Ongoing Crisis Communication: Planning,
Managing, and Responding. Sage Publications.
- Goleman, D. (2017). Emotional Intelligence in Crisis
Management. Harvard Business Review.
- Edelman Trust Barometer 2024. Trust and Transparency in PR. Edelman.
- Sutopo
Purwo Nugroho. (2019). Manajemen
Krisis dalam Komunikasi Bencana. Antara News.
Penulis: Zakariya Putra Soekarno, 2025
Cover: Hamima Okamtivan, 2025
***
Laboratorium Ilmu Komunikasi UNESA