Masjid Cheng Hoo, Titik Lokasi Favorit yang Menyimpan Akulturasi Budaya dalam Jejak Sejarah

ikom.fisipol.unesa.ac.id, Pasuruan – Jika biasanya kita melihat masjid, maka kubah dan menara yang tinggi menjulang dengan dominasi warna netral selalu nampak sejauh mata memandang. Namun, salah satu masjid yang terletak di daerah Pasuruan, tepatnya dekat dengan terminal Pandaan, justru memiliki warna dan ornamen khas budaya Tionghoa yang menarik banyak pengunjung. Masjid ini dikenal dengan nama Masjid Cheng Hoo.
Masjid Cheng Hoo merupakan sebuah bangunan untuk tempat beribadah yang memiliki ciri khas unik. Dengan nuansa merah dan berbagai ornamen khas, seperti aksen naga, lampion, dan ukiran khas Tionghoa menjadi simbol adanya percampuran antar budaya. Di mana kebudayaan yang melekat ialah budaya China atau Tionghoa.
Bukan hanya sebagai tempat beribadah, Masjid Cheng Hoo digunakan sebagian orang untuk transit setelah melakukan perjalanan ziarah ataupun aktivitas yang lain. Hal ini dikarenakan lokasinya yang strategis, fasilitas yang mendukung, suasananya yang khas sebagai ikon wisata religi, hingga daya tarik budaya menjadikan tempat ini selalu dipadati oleh berbagai pengunjung.
Sejarah Masjid
Masjid Cheng Hoo memiliki sejarah yang cukup panjang. Nama Cheng Hoo berasal dari kata Cheng Hoo yang berarti keturunan etnis (suku) Hul dari Xi Yu (Bukhara di Asia Tengah, kini termasuk Provinsi Xinjiang). Suku ini turun-temurun menganut agama Islam dan kemudian berpindah ke Kunming, Provinsi Yunnan, Tiongkok Barat Daya, untuk menetap di sana.
Konon, dikisahkan bahwa salah satu nenek moyang Cheng Hoo adalah Zaidinayeh Syamsuddin, seorang raja di Xian-Yeng, Provinsi Yunnan. Salah satu keturunannya yang bernama Bay An, merupakan kakek dari Chang Hoa. Neneknya bernama Medina, sementara ayahnya, Myrikin, telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Oleh karena itu, mereka dihormati dengan nama panggilan Hashi (Haji) dalam bahasa Indonesia.
Ayahnya yang dipanggil sebagai Me Hashi, terkenal sebagai sosok yang baik dan murah hati. Ia suka menolong kaum fakir miskin, yatim piatu, serta janda atau duda, sehingga amat disegani oleh masyarakat atau penduduk di lingkungannya.
Selama perjalanannya, kapal Cheng Hoo (Zheng He) mengunjungi banyak negara-negara Asia dan Afrika, termasuk kerajaan Majapahit di Jawa, bekas Kerajaan Samboja di Palembang, serta Kesultanan Samudera Pasai di Aceh, Sumatera. Sementara itu, Semarang dan Surabaya menjadi dua pelabuhan terpenting yang sering dikunjunginya.
Muslim Ma Huan, pembantu dekat Laksamana Cheng Hoo (Zheng He) yang beberapa kali mengikuti misi pelayarannya, mengisahkan bahwa mereka pernah bertemu dengan sejumlah Muslim Tionghoa yang menetap di Jawa ketika itu (di awal abad ke-15). Hal tersebut menunjukkan bahwa Muslim Tionghoa di Indonesia telah mempunyai sejarah yang panjang.
Pada tahun 1961, seorang Ulama besar dan Cendekiawan Islam Indonesia terkemuka, Buya Haji Hamka, pernah menulis, "Seorang Muslim dari China yang amat erat kaitannya dengan kemajuan dan perkembangan agama Islam di Indonesia dan Melayu adalah Laksamana Cheng Hoo (Zheng He)".
Selama 600 tahun terakhir, tempat-tempat yang pernah dijelajahi oleh Laksamana Cheng Hoo (Zheng He), masih dapat ditelusuri dan telah diakui secara universal. Untuk mengenang perjalanan bersejarahnya tersebut sebagai pelaut hebat, utusan perdamaian, dan seorang muslim yang taat dan saleh, maka umat muslim di Surabaya membangun Masjid Laksamana Cheng Hoo (Zheng He) di pusat Kota Surabaya.
Masjid ini menjadi masjid pertama di dunia yang diberi nama Cheng Hoo (Zhang He) sehingga menjadi sebuah kebanggan dan rasa syukur bagi umat muslim di Surabaya bersama segenap muslim di Indonesia.
Menyusul hal tersebut, Pada tahun 2004, Masjid Cheng Hoo Pandaan kemudian dibangun oleh Bupati Pasuruan, Jusbakir Al-Jufri, dengan berkonsultasi pada komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Setelah itu, masjid diresmikan pada 27 Januari tahun 2008. Pembangunan masjid ini juga bertujuan untuk mengenang Laksamana Cheng Ho, seorang laksamana Muslim asal Tiongkok yang telah berjasa menyebarkan agama Islam di Indonesia.
Pesona dan Keunikan Masjid
Saat berkunjung ke Masjid Cheng Hoo, kita akan merasa takjub dengan arsitektur bangunannya yang terinspirasi dari design kelenteng dengan atap bertingkat seperti pagoda sekaligus tetap mempertahankan elemen Islam. Ini menjadikan Masjid Cheng Hoo sebagai destinasi yang unik karena tidak banyak bangunan untuk beribadah yang kental dengan akulturasi budaya.
Selain sebagai tempat beribadah, Masjid Cheng Hoo juga dikenal sebagai tempat wisata sehingga banyak pengunjung dari berbagai kota datang dan membuat tempat ini tidak pernah sepi akan pengunjung. Bisa dilihat dari tempat parkir yang ada, pengunjung yang menggunakan bus, mobil, sepeda motor atau yang lain terus menerus berdatangan.
Jika ingin berkuliner ataupun sekedar mencari oleh-oleh sambil menunggu masuknya waktu sholat, kita dapat berjalan ke belakang masjid. Di sana, terdapat puluhan UMKM yang berjualan, mulai dari makanan ringan, makanan berat, bahkan terdapat stand khusus oleh-oleh yang dapat kita kunjungi. Untuk harga yang ditawarkan juga relatif murah, jadi aman di kantong para pengunjung.
Selaras dengan hal tersebut, salah satu pengunjung yang berasal dari Mojokerto, Abdul, menyatakan bahwa Masjid Cheng Hoo sangat luar biasa karena bisa menjadi tempat religius dan sekaligus tempat umum yang sering dikunjungi oleh peziarah ataupun orang yang ingin transit.
“Bangunan Masjid Cheng Hoo itu sangat luar biasa, meskipun terdapat kultur China-Tionghoa tetapi kita harus tetap teguh dengan iman, karena orang di luar sana banyak yang memandang akulturasi budaya ini tidak baik, namun yang penting niat kita adalah untuk beribadah,” ujar Abdul.
Tidak hanya itu, terdapat pula pengunjung yang datang jauh-jauh dari Kota Probolinggo hanya untuk memuaskan rasa penasarannya terhadap Masjid Cheng Hoo. Beliau adalah Ilmiyah yang datang bersama suami dan juga anaknya. Menurut Ilmiyah, dirinya dibuat takjub untuk pertama kalinya ketika berkunjung ke masjid ini karena keindahan arsitektur serta keunikan masjid yang menunjukkan percampuran dua kebudayaan yang berbeda.
Bukan hanya warna merah yang menghiasi masjid ini, namun terdapat warna hijau dan kuning keemasan sebagai pelengkapnya yang khas. Di mana warna hijau digunakan untuk warna dasar genteng. Sedangkan warna kuning keemasan untuk ukiran yang ada di dinding dan juga tulisan nama masjid.
Halaman masjid yang luas juga dilapisi dengan keramik kasar sehingga cukup terasa panas saat dipijak di waktu siang hari. Sementara itu, lampu-lampu yang dinyalakan khususnya beberapa lampion yang menghiasi bagian depan masjid pada saat malam hari juga semakin memperjelas akulturasi budaya yang ada, yakni terdapat budaya Arab, China, dan Jawa, sekaligus menjadi lambang toleransi antar umat beragama di Pasuruan.
****
Author : Novina Putri Ayu Belqis (Ilmu Komunikasi, 2023)
Editor : Alya, 2025
Laboratorium Ilmu Komunikasi UNESA